Bahasa Indonesia Vs Bahasa Gaul (Chapter II)
Realitas Bahasa
Indonesia Vs Realitas Globalisasi
Sangat
menarik apabila menilik definisi dari bahasa yang dipaparkan oleh beberapa
ahli, di antaranya :
a. Menurut
Walija (1996:4), definisi bahasa ialah komunikasi yang paling lengkap dan
efektif untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan, dan pendapat kepada
orang lain.
b. Menurut
Wibowo (2001:3), bahasa adalah sistem simbol bunyi yang bermakna dan
berartikulasi (di hasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional,
yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk
melahirkan perasaan dan pikiran.
Selama
ini, pro dan kontra menyeruak terutama terkait dengan ketentuan yang mengatur
tentang penggunaan bahasa Indonesia. Di tengah-tengah arus globalisasi,
penggunaan bahasa Indonesia dapat menjadi salah satu produk analisis utama
dalam melihat proses perkembangan identitas bangsa ini. Sehingga, hal ini
menuntut bahasa Indonesia agar mampu menjadi bahasa budaya sekaligus bahasa
iptek yang berwibawa dan memiliki kebanggaan tersendiri dalam mengikuti derap
langkah peradaban yang terus gencar bahkan memaksa menawarkan terjadinya
perubahan dan dinamika.
Seperti
yang kita ketahui bersama, dewasa ini bahasa Indonesia mengalami banyak
pengembangan. Maka, tidak dapat dihindarkan lagi jika bahasa Indonesia tak
henti-hentinya menuai polemik dalam konteks berbahasa. Hal ini dianggap
menjadi suatu kewajaran karena bahasa Indonesia merujuk pada bagian dari budaya
yang selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman tetapi juga dinamis sebagai
otentitas budaya dari bangsa yang merdeka ini.
Penulis
kembali mengingatkan pembaca akan pencetusan puisi cantik pada tanggal 28 Oktober 1928 yang menggaet kalimat “Satu
nusa, satu bangsa, satu bahasa”. Puisi ini menghadiahkan satu bahasa
yang tetap elegan dan eksis untuk memasuki masa depan budaya nasional yang
modern dengan tidak mengabaikan wujud dari asasi pencetusan puisi cantik yang
di gaungkan dalam peristiwa sumpah pemuda. Kita semua, membutuhkan visi misi
serta karakter yang kokoh untuk tetap dapat mengeksiskan bahasa Indonesia yang
mencerminkan jati diri bangsa. Warga negara, khususnya pelajar bangsa ini
merupakan salah satu objek pengeksis pertama untuk dapat menumbuhkan sikap
kebanggaan terhadap bahasa Indonesia melalui nilai lokal maupun nasional. Hal
ini disebabkan karena kaum pelajar diharapkan dapat menahan pengkikisan bahasa
budaya bangsa oleh maraknya bahasa populer yang dominannya kurang sejalan
dengan citra bahasa bangsa ini.
Dewasa
ini, keprihatinan terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar
semakin memuncak. Globalisasi sebagai pengembang kontemporer yang mempunyai
pengaruh dalam mendorong munculnya berbagai kemungkinan tentang perubahan dunia
yang akan berlangsung, contohnya adalah dalam penggunaan bahasa Indonesia. Maraknya
berbagai media yang tertumpu pada globalisasi seperti, televisi, short messege service, facebook,
twitter, dsb yang mampu memberikan sejumlah informasi dengan menggunakan bahasa
komunikasi yang di nilai lebih bersifat persuasif sehingga memunculkan perasaan
tertarik untuk membaca, mendengar, dan bahkan melakukan hal yang menjadi
permasalahan oleh orang banyak. Bahasa yang digunakan ini lebih dikenal dengan
nama bahasa gaul. Dalam kancah dunia bahasa seperti sekarang ini, bahasa gaul
menempati kejayaan di kalangan remaja khususnya pelajar. Dengan adanya bahasa gaul inilah yang menjadi
salah satu penyebab pelajar sulit untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik
dan benar pada tempatnya. Pondasi kebahasaan mereka yang belum mantap
lalu ditimpa oleh munculnya bahasa gaul yang kemudian dianggap sebagai suatu
keharusan dalam berbahasa sehari-hari. Media dan
tekhnologi yang semakin canggih dan mudah dijangkau anak-anak inipun menambah
suasana menjadi bertambah parah.
Penulis mencoba merunut ulang potensi dan kendala bahasa
Indonesia ketika dipergunakan untuk menulis sastra. Selebihnya, penulis juga
meneropong kemungkinan problem sastra berbahasa Indonesia di masa depan. Persoalannya,
keintiman berbahasa Indonesia bagi seluruh masyarakat sangat dipertanyakan.
Bahasa Indonesia lebih sebagai bahasa resmi daripada bahasa keseharian. Pada
perkembangannya, bahasa Indonesia bergerak jauh untuk semakin meninggalkan
bahasa-bahasa daerah, bahkan bahasa Melayu. Dan yang paling riskan, bahasa
Indonesia diimunkan dari tema-tema khusus. Tema-tema yang dianggap
mempersoalkan kesukuan, agama, ras, golongan. Aturan bahasa yang “kaku dalam operasional” namun “remang-remang
dalam batasan”.
Lantas, bagaimanakah posisi bahasa dalam sastra Indonesia?
Apakah terjadi keterputusan juga dengan sastra tradisional? Penyair Indra Tjahyadi pernah menuliskan puisi
yang apik. Ziarah atas
burung-burung, cahaya dari rasa sakit yang bertumpuk, yang baru digali dari
setiap kubur, seperti ikalan-ikalan topan, atau impian seribu gadis, dan
pelacur. Puisi “Katastrope” dari antologi Manifesto Surrealisme (FS3LP Surabaya, 2002).
Bagaimana dengan Labirin
Impian karangan Jorge Luis
Borges, karya sastra yang amat berciri fantasi, teks-teks yang amat
menghancurkan realitas. Dan bersandar pada puisi Indra Tjahyadi yang lugas
namun beringas, bisa jadi, bahasa Indonesia berpotensi besar menghasilkan
sastra fantasi yang bermutu. Bisa jadi juga, bahasa Indonesia kurang berpotensi
menghasilkan sastra imajinasi. Bahasa Melayu justru berposisi sebaliknya, sifat
kultural-keseharian yang diemban oleh bahasa tersebut memungkinkan lahirnya
sastra yang mengimajinasikan realitas.
Lantas, bagaimana mengantisipasi perubahan besar
tersebut? Jumlah orang yang ahli bahasa Indonesia kini semakin langka. Padahal
jumlah karya sastra yang harus diterjemahkan menggunung. Bayangkan saja, tiap
minggu puluhan koran menayangkan puisi atau prosa baru. Tiap minggu, selalu
terbit buku kumpulan puisi baru. Bila ditotal, dalam satu abad usia sastra
Indonesia, karya yang diproduksi bisa sampai ratusan juta judul.
Komentar
Posting Komentar