Evolusi Modernisasi Politik Bermartabat Berantas Metamorfosis Korupsi
Menarik
apabila menilik mengenai evolusi peradaban politik Indonesia di mata dunia.
Peradaban dapat diartikan sebagai masa atau kurun waktu. Jadi, peradaban dalam
segi politik dapat diartikan sebagai masa dalam kurun waktu tertentu terhadap
apa yang terjadi dalam dunia politik. Peradaban dapat berjalan kearah gradasi,
serta dapat pula kearah degradasi politik itu sendiri, atau bahkan peradaban
dalam segi politik yang semakin membaik atau memburuk. Faktanya, saat ini
peradaban politik di Indonesia semakin lama mengarah pada sesuatu yang hampir
keseluruhan buruk dimata publik. Keberadaan politik di Indonesia bukan lagi
dijadikan sebagai penyelamat bangsa dan negara, melainkan membuat bobot
kualitas negara menjadi semakin merosot. Dimana dalam prosesnya evolusi
peradaban politik Indonesia telah memasuki tahap legitimasi etis. Dalam tahap
ini, penguasa tidak cukup hanya berpijak pada legitimasi konstitusional semata.
Segala keputusan dan perilakunya harus mengacu pada nilai-nilai etis. Sehingga pada tahap ini elemen etis bukan
atau tidak lagi sebagai aksesoris abu-abu. Kontrol kekuatan tidak
hanya mengacu pada ketentuan konstitusi belaka. Perilaku konstitusional
harusnya sudah masuk ke dalam alam bawah sadar para pemegang kekuasaan.
Menguatnya
legitimasi etis ini juga di tandai di mana salah benar langkah politik tidak
lagi hanya sekedar ada saksi atau bukti, ataupun diketahui publik atau
tidak. Ada dan tidak ada saksi dan bukti, diketahui publik atau tidak
diketahui publik keputusan politik harus lebih bermartabat. Dari puncak bukit
terminologi etis, kontributor atas terjadinya distorsi arah evolusi peradaban
politik ini sekarang semakin terlihat nyata. Pengingkaran itu sebenarnya sudah
mereka sadari dan rasakan, tetapi kelihatannya mereka sangat percaya diri bahwa
penyimpangan itu masih bisa dilogikakan agar nampak etis. Birunya langit
Indonesia terlihat sebagai harapan yang realitasnya ternyata hampa. Sang surya
yang hangat telah diredupkan secara sistematis. Menyerahkan diri pada mekanisme
mafia penjajahan nilai-nilai etis, peradaban dan martabat rakyat. Orbit sang
surya semakin tidak jelas. Nah, ini
di sengaja atau tidak ya ? Hal ini
menyimpulkan bahwa peradaban dari segi politik di Indonesia semakin menuju pada
hal-hal yang buruk dan memalukan.
Seharusnya,
seiring pergantian masa politik di Indonesia harus lebih baik dari masa-masa
sebelumnya. Integritas pelaku politik harus solid dan mengutamakan kepentingan
umum diatas kepentingan pribadi. Hanya saja, kini yang terjadi justru
sebaliknya. Banyak pelaku politik yang secara terang-terangan, maupun
terselubung melakukan hal-hal buruk yang justru mencoreng nama baik dunia
politik itu sendiri. Dunia politik adalah dunia orang-orang yang berada di
dalamnya senantiasa memikirkan cara untuk memajukan bangsa serta mengharumkan
nama negara di kancah internasional. Oleh karena itu, seharusnya politik adalah
suatu cara untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsa, moralitas
bangsa, serta kepastian hukum.
Cukup
disayangkan, ketika zaman semakin maju dengan adanya efek globalisasi,
peradaban politik kini telah mengubah secara dramatis kehidupan miliaran
manusia di seluruh penjuru dunia. Arus globalisasi tidak mengenal ruang dan
waktu, bahkan tidak mengenal sasaran negara. Kuatnya arus globalisasi tersebut
“memaksa” peran politik negara untuk melindungi kedaulatan politik nasional.
Berbagai dampak yang ditimbulkan oleh gelombang globalisasi umumnya dapat
dilihat secara kasat mata melalui berbagai aksi demonstrasi atau protes-protes
yang terjadi di seluruh dunia. Gairah globalisasi justru semakin menyeruak di
berbagai elemen politik karena globalisasi menjadi alasan utama bagi kembalinya
kebangkitan identitas budaya lokal di berbagai belahan dunia. Elemen-elemen
yang selama ini menjadi “korban politik dan ekonomi” mendapatkan momentum untuk
bereaksi dan beraksi sesuai dengan kesadaran politik yang semakin menguat
seiring dengan lajunya pergerakan arus globalisasi. Contoh yang paling ekstrem
adalah munculnya berbagai gejolak politik dan bahkan gerakan separatisme yang
mengatasnamakan kebebasan politik.
Seperti
yang kita ketahui bersama, pro dan kontra meyeruak terutama terkait dengan
ketentuan yang mengatur tentang polemik kebebasan politik yang pada akhirnya
melahirkan kasus-kasus hukum, termasuk kasus korupsi. Masalah korupsi bukan
hanya menjadi masalah nasional tertapi sudah menjadi masalah internasional,
bahkan dalam bentuk dan ruang lingkup seperti sekarang ini, yang realitanya
dapat menyengsarakan sekaligus menghancurkan suatu negara. Jeremy Pope dalam
bukunya Confronting Coruption:
The Element of National Integrity System, menjelaskan bahwa, “korupsi
merupakan permasalahan global yang harus menjadi keprihatinan semua orang”.
Praktik korupsi biasanya sejajar dengan konsep pemerintahan totaliter, diktator
yang meletakkan kekuasaan di tangan segelintir orang. Namun, tidak berarti
dalam sistem sosial politik yang demokratis tidak ada korupsi bahkan bisa lebih
parah praktik korupsinya, apabila kehidupan sosial politiknya bertoleransi
bahkan memberikan ruang terhadap praktik korupsi, maka jelas praktik korupsi
tumbuh subur. Korupsi merupakan permasalahan mendesak yang harus
diatasi, agar tercapai pertumbuhan dan geliat ekonomi yang sehat. Berbagai
catatan mengenai korupsi yang setiap hari diberitakan oleh media massa baik
cetak maupun elektronik, tergambar adanya peningkatan dan pengembangan
model-model korupsi. Korupsi tidak hanya terjadi di lembaga eksekutif,
legislatif, ataupun yudikatif, bahkan korupsi merebak dengan luas sampai ke
daerah-daerah yang ruang lingkupnya kecil, sehingga melahirkan banyak “orang
kaya baru”.
Dewasa
ini, korupsi yang meluas di era reformasi bukanlah sebuah masalah yang berdiri
sendiri, melainkan “kelanjutan” dari praktik korupsi masa lalu baik dilihat
dari jenis, pelaku, atau bahkan modus pengoperasiannya. Penulis mencoba merunut
ulang mengenai rezim orde baru sebagai peletak dasar yang kokoh bagi
perkembangbiakan korupsi. Secara normatif, penyelenggaraan pemerintah di masa
itu bertujuan baik, tetapi tanpa disadari polemik ini menciptakan ruang-ruang
demi pertumbuhan korupsi sekaligus penyelewengan kekuasaan. Menarik apabila
meninjau kembali sedemikian hebatnya korupsi di masa Soeharto, sehingga
melahirkan polemik yang amat menghancurkan realitas dan bersandar pada
keberingasan budaya bangsa Indonesia.
Untuk
kebutuhan analisis atas wacana runtuhnya satu orde dalam proyek kekuasaan,
korupsi acap kali menjadi sebab musabab yang tidak lagi dapat terelakkan.
Sebagai ilustrasi, pada tanggal 31 Desember 1799, VOC selaku perkumpulan dagang
Belanda di Hindia Timur dinyatakan bubar oleh Kerajaan Belanda. Kepanjangan
dari tiga huruf itu tidak lagi Vernigde Oost Indische Compagnie (Persatuan
Dagang Hindia Timur), melainkan Verbreken Omdat Corruptie (runtuh karena
korupsi). Hampir 200 tahun kemudian, ditahun 1998 Orde Baru yang tidak
tergoyahkan selama lebih dari tiga dekade akhirnya menyatakan dirinya bangkrut
karena korupsi, yang kini lebih dikenal dengan gelar KKN (Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme). Tidak jauh berbeda, ketika berhadapan dengan kekuasaan, sastrawan
bahkan melihat korupsi sebagai jalinan yang saling kait-mengait dengan
jaring-jaring yang dibentangkan oleh kekuasaan itu sendiri.
Pergeseran
sistem melalui tumbangnya kekuasaan ikon orde baru yang didalangi oleh Soeharto
membawa berkah bagi tumbuhnya kehidupan demokratisasi di Indonesia. Reformasi,
begitulah jutaan penduduk Indonesia menyebut evolusi orde baru tersebut. Namun
disayangkan, reformasi harus dibayar mahal oleh Indonesia melalui rontoknya
fondasi ekonomi yang mengandalkan kemunafikan menjadi senjata ampuh untuk
membodohi rakyat. Secara teoritis, kenyataan seperti ini sebenarnya fenomena
khas negara-negara yang sedang membangun (berkembang) karena sudah dipastikan
tidak akan adanya pengawasan efektif terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan
pelaksanaan pembangunan. Akuntabilitas aparat birokrasi, pejabat negara, dan
pejabat BUMN/BUMD amat rendah. Rumitnya, kondisi itu berlangsung puluhan tahun,
sehingga membuat korupsi menjadi masalah sistemik.
Fakta
yang terjadi menunjukkan bahwa negara-negara industri tidak lagi dapat
menggurui negara-negara berkembang soal praktik korupsi, karena melalui korupsi
sistem ekonomi sosial menjadi rusak, baik di negara maju maupun berkembang. Dalam
hal ini jelas perluasan korupsi di negara-negara berkembang pada dasarnya
adalah efek langsung dari pelaksanaan modernisasi yang tidak terarah. Berpijak
pada penjelasan tersebut, meluasnya korupsi di masa orde baru terjadi karena
perluasan pembangunan dan eksplorasi sumber-sumber kekayaan baru yang tidak
berjalan secara paralel dengan pembangunan sistem pengawasan dan penegakan
norma-norma hukum. Masalahnya menjadi rumit, karena di sisi lain masyarakat
cenderung “membenarkan” terjadinya korupsi. Mengapa korupsi meluas di era
roformasi ? Dalam hal ini, pakar hukum korupsi Prof. Andi Hamzah (2004)
mengemukakan logika sederhana, “bahwa korupsi meluas karena disatu sisi, dewasa
ini kebutuhan manusia di berbagai bidang semakin meningkat tetapi di sisi lain
pendapatan yang diterima tidak mencukupi dan tingkat pengawasan terhadap
penggunaan uang negara amat rendah”. Di atas itu, perluasan korupsi dewasa ini
juga dapat dijelaskan dari modernisasi politik.
Modernisasi merupakan suatu bentuk
perubahan sosial ke arah kemajuan suatu masyarakat dan bangsa dengan ciri-ciri
yang menyatakan bahwa modernisasi adalah suatu proses revolusioner, rumit,
sistematis, global, jangka panjang, bertahap, atau bergerak kedepan secara
progresif. Modernisasi politik menurut Samuel Huntington, yaitu proses bersegi
jamak yang melibatkan perubahan disemua kerangka pemikiran dan aktivitas
manusia seperti pendidikan, seklarasi, industri, serta demokratisasi media
massa yang tidak berlangsung secara random dan berdiri sendiri-sendiri, namun
semuanya saling terkait. Modernisasi dalam bidang politik merupakan sebagai
suatu perubahan sosial kekuasaan masyarakat, yaitu sistem politik suatu
masyarakat yang menjadi kerangka untuk menetapkan kebijakan kekuasaan yang akan
dilaksanakan. Modernisasi politik dalam negara berkembang dapat menjadi pemeran
utama dalam proses modernisasi secara total, akan tetapi di sisi lain
modernisasi politik dapat bergerak bila dipicu oleh bidang ekonomi sosial.
Menilai ciri-ciri sitem politik yang
telah berhasil dan yang berlangsung selama beberapa abad, dapat dikatakan bahwa
kemodernan politik itu mencakup hal-hal diantaranya :
1. Adanya suatu struktur hukum yang
berpotensi untuk mengubah pendapat-pendapat yang adil dari rakyat
2. Perluasan partisipasi rakyat dalam
proses-proses politik dan meningkatkan kualitas partisipasi semacam itu
3. Kemampuan untuk mempertahankan
integrasi nasional melalui akomodasi yang teratur terhadap kekuatan-kekuatan
budaya, agama,dan faktor-faktor lain yang juga bisa menimbulkan perpecahan
4. Kemampuan untuk mencampurkan
keterampilan, rasa tanggung jawab, dan rasionalitas administratif dengan
kemauan rakyat
Dengan demikian, modernisasi politik
adalah suatu proses perubahan ke arah yang lebih maju dibidang sistem sosial
yang merupakan kerangka untuk menentukan kebijakan kekuasaan dan untuk
melaksanakannya. Di tengah-tengah arus modernisasi politik, pemberdayaan
metamorfosis korupsi dapat menjadi salah satu produk analisis utama dalam
melihat proses perkembangan identitas bangsa ini. Sehingga, hal ini menuntut
modernisasi politik agar mampu bermartabat dan berwibawa dalam mengiringi derap
langkah peradaban yang terus gencar bahkan memaksa menawarkan terjadinya
perubahan dan dinamika.
Seperti yang diketahui bersama,
dewasa ini masalah korupsi merupakan masalah yang mengganggu, dan menghambat
pembangunan nasional karena korupsi telah mengakibatkan terjadinya kebocoran
keuangan negara yang justru sangat memerlukan dana yang besar dimasa terjaidnya
krisis ekonomi dan moneter. Korupsi pada saat ini maupun masa yang akan datang
merupakan ancaman serius yang dapat membahayakan perkembangan kehidupan
bangsa-bangsa pada umumnya, dan khususnya bangsa Indonesia sehingga kejahatan
korupsi selayaknya dikategorikan sebagai kejahatan yang membahayakan
kesejahteraan bangsa dan negara.
Dalam era reformasi dewasa ini,
upaya pencegahan serta penanggulangan korupsi beserta penjatuhan pidana bagi
pelakunya mengalami perkembangan dengan makin mencuatnya kerangka yuridis pada
masa pemerintahan Habibie dengan keluarnya UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menggantikan UU No. 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Rancangan peraturan perundang-undang
yang menghukum “mati” dan ancaman berat lainnya setidaknya bisa menjadi salah satu
bentuk resiko tinggi, dengan catatan penegak hukum konsisiten terhadap aturan
hukum tersebut. Shock therapy yang dilakukan pemerintah Cina rasanya perlu
ditiru. Dibutuhkan political will dari banyak pihak dalam tata pemerintah untuk
mewujudkan integritas nasional. Kebijakan ekstrim dan radikal diperlukan untuk
melawan praktek korupsi di Indonesia. Misalnya, mengambil alih seluruh harta
hasil korupsi, menghukum koruptor untuk melakukan pengabdian dalam jangka waktu
panjang (seumur hidup) di daerah terpencil untuk memberikan pelatihan dan
pendidikan di daerah terpencil dengan pengawasan ketat aparat hukum, karena
biasanya para koruptor ini memiliki pendidikan dan keahlian dibidangnya.
Hal yang paling sulit dan
fundamental dari semua perlawanan terhadap korupsi adalah bagaimana membangun
kemauan politik (political will). Kemauan politik yang dimaksud bukan hanya
sekedar kemauan para politisi dan orang-orang yang berkecimpung dalam ranah
politik. Namun, ada yang lebih penting sekedar itu semua. Yakni, kemauan
politik yang termanifestasikan dalam bentuk keberanian yang didukung oleh
kecerdasan sosial masyarakat sipil atau warga negara dari berbagai elemen dan
strata sosial. Sehingga jabatan politik tidak lagi digunakan secara mudah untuk
memperkaya diri, namun sebagai tangggung jawab untuk mengelola dan bertanggung
jawab untuk merumuskan gerakan mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara yang
baik.
Biasanya resiko politik merupakan
hambatan utama dalam melawan gerusan korupsi terhadap pembangunan ekonomi
nasional. Oleh sebab itu, mengapa kesadaran masyarakat sipil penting ? Dalam
tatanan pemerintahan yang demokratis, para politisi dan pejabat negara
tergantung dengan suara masyarakat sipil. Artinya kecerdasan sosial-politik
dari masyarakat sipil-lah yang memaksa para politisi dan pejabat Negara untuk
menahan diri dari praktek korupsi. Masyarakat sipil yang cerdas secara
sosial-politik akan memilih pimpinan (politisi) dan pejabat Negara yang
memiliki integritas diri yang mampu menahan diri dari korupsi dan merancang
kebijakan kearah pembangunan ekonomi yang lebih baik. Melalui masyarakat sipil
yang cerdas secara sosial-politik pula pilar-pilar peradilan dan media masa
dapat diawasi sehingga membentuk integritas nasional yang alergi korupsi.
Ketika Konstruksi Integritas
Nasional berdiri kokoh dengan payung kecerdasan sosial-politik masyarakat
sipil, maka pembangunan ekonomi dapat distimulus dengan efektif. Masyarakat
sipil akan mendorong pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang memadai.
Masyarakat sipil pula yang memberi ruang dan menciptakan ruang pembangunan
ekonomi yang potensial. Masyarakat melalui para investor akan memutuskan
melakukan investasi yang sebesar-besarnya karena hambatan ketidakpastian telah
hilang oleh bangunan integritas nasional yang kokoh. Jumlah output barang dan
jasa terus meningkat karena kondusifnya iklim investasi di Indonesia, karena
kerikil-kerikil kelembagaan birokrasi yang njelimet
dan korup telah diminimalisir, kondisi politik stabil dan terkendali oleh
tingginya tingkat kecerdasan sosial-politik masyarakat sipil.
Kembali pada pembahasan, modernisasi
politik bermartabat termasuk modrnisasi dasar dalam membangun negeri, dan
dampak yang ditimbulkannya erat kaitannya dengan pemerintahan. Tetapi juga
tidak membatasi akibat dari modernisasi politik bermartabat yang mencakup
kehidupan sosial. Dalam dinamikanya, Indonesiia memilih jalan modernisasi
bermartabat dengan menggunakan sistem demokrasi. Sistem yang dianggap sulit
untuk mencapai kemodernisasian. Tetapi dengan semangat nasionalisme, opini itu
terbantahkan.
Apa yang penulis tawarkan adalah
sebuah solusi dari sektor lain. Merangkai kata untuk perubahan memang mudah. Namun,
melaksanakan rangkaian kata dalam bentuk gerakan terkadang teramat sulit.
Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar
korupsi yang menjadi penghambat utama lambatnya pembangunan ekonomi nan paripurna di Indonesia. Korupsi yang
telah terlalu lama menjadi wabah yang tidak pernah kunjung selesai, karena pembunuhan
terhadap wabah tersebut tidak pernah tepat sasaran ibarat “yang sakit kepala, tapi yang diobati tangan“. Pemberantasan
korupsi seakan hanya menjadi komoditas politik, bahan retorika ampuh menarik
simpati. Oleh sebab itu, dibutuhkan kecerdasan masyarakat sipil untuk mengawasi
dan membuat keputusan politik mencegah makin mewabahnya penyakit kotor korupsi
di Indonesia. Negeri ini sangat mengharapkan generasi yang dapat membenahi
segala aspek di bidang politik untuk masa yang akan datang, bukan lagi
peradaban dalam segi politik yang semakin memburuk.
Komentar
Posting Komentar