Kado Istimewa Tak Berwujud



“Vitha mau cari kerja, hitung-hitung freelancer”.
“Kenapa ? Uang yang Mama kasih kurang ? Atau kamu butuh uang tambahan ? Kamu kan lumpuh, siapa yang mau menerima kamu jadi freelancer”, tanya Mama
“Vitha bisa mati kesepian kalau harus nungguin Mama pulang. Atau perbolehkan Vitha ikut mama keluar, biarkan Vitha tinggal di hotel, Vitha tak akan mengganggu pekerjaan Mama”
“Mama hanya minta kamu menunggu Mama di rumah, sekolah, les biola, lakukan apa yang kamu senangi Vitha”.
“Mama memang tak pernah mengerti perasaanku !”, aku menangis dan pergi meninggalkan Mama yang sedang sarapan diruang makan.
PRAKK ….
            Mama memang tak pernah tahu perasaanku. Semenjak aku lumpuh, aku seperti boneka yang dipasangkan baju sesuka Mama, dibiarkan bermain sendirian dan dipajang di dalam lemari mewah tanpa kedamaian didalamnya. Dalam hitungan beberapa hari lagi usiaku hampir 17 tahun. Tapi aku masih diperlakukan layaknya anak kecil, aku tak boleh menentukan hidupku sendiri. Semenjak Papa meninggal karena kecelakaan satu tahun lalu, Mama sibuk mengurus perusahaan yang ditinggal oleh Papa hingga seperti tak ada waktu lagi untuk memperhatikan aku.
Aku tinggal sendirian dirumah yang besar dan penuh dengan kemewahan tanpa aroma kasih sayang sedikitpun, bersama dua orang pembantu yang sudah lama mengabdikan dirinya dengan keluargaku. Mungkin Mbok Min ~sebutan untuk pembantu di rumahku~ lebih mengetahui dan mengerti berbagai hal tentang kebiasaan yang aku lakukan dibanding Mama. Sedangkan Pak Tris ~supir keluargaku~ adalah orang yang biasanya mengantarkan aku kemanapun aku ingin pergi. Mereka berdua selalu mengetahui kebutuhanku, terlebih ketika aku lumpuh seperti sekarang ini. Tetapi tetap saja, hanya hambar yang aku rasakan, aku tak merasa bahagia. Aku tak membutuhkan kemewahan, aku hanya butuh kedamaian dan kasih sayang. Terkadang sambil menangis tetapi aku tetap mencoba untuk menggali dan mengais. Berharap bisa menemukan tatapan kasih sayang dari sepasang mata orang yang melahirkan aku.
ΩΩΩ
            Hari ini, hari ketiga aku ditinggal Mama sendirian di rumah. Aku bosan kalau hanya bermain biola di rumah. Aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan di pusat kota. Hitung-hitung untuk mencari kesibukan sendiri. Dan seperti biasa Pak Tris yang mengantarkan aku pergi menuju perpustakaan. Selama perjalanan aku hanya diam dan memperhatikan daerah sekitar keramaian kota. Disebelah kanan dan kiri banyak terlihat pedagang kaki lima yang menjajakan barang-barang dagangan mereka. Untuk sesaat, aku kagum dengan mereka. Terlihat kebersamaan dalam jeritan kesusahan walaupun harus tetap bersaing. Seolah-olah mereka begitu percaya akan rezeki yang memang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.
“Pak, ntar Vitha ditinggal aja ya di perpus. Kayaknya agak lama”, pintaku pada Pak Tris.
Ndak bisa, Non. Biar saya tunggu saja”, jawab Pak Tris.
“Tapi Vitha minta ditinggal, Pak !”, aku mulai emosi.
Ntar saya bisa dimarahin Nyonya, Non”, cemas Pak Tris.
“Vitha yang tanggung jawab !”, emosiku semakin membara dan memuncak karena Pak Tris mulai mengeyel.
Pak Tris hanya terdiam tak membalas kata-kata ku yang sedang emosi tadi. Seketika suasana berubah menjadi hening sejenak. Aku mulai merasa bersalah karena sudah membentak bentak Pak Tris. Tidak seharusnya aku mengkasari Pak Tris. Aku ingin meminta maaf, tetapi malu. Aku mulai meneteskan air mata. Sedangkan komponen-komponen dalam otakku bekerja begitu cepat, bersinergi untuk menghasilkan keputusan yang tepat. Keputusan yang dihasilkan seketika memberi komando pada organ-organ tubuhku untuk segera meminta maaf.
“Pak, maafin Vitha. Vitha ga bermaksud seperti itu”, aku menjelaskan dengan penuh sesal.
Ndak apa-apa, Non. Ya sudah, nanti Bapak tunggu di mobil saja”, balas Pak Tris sambil tersenyum.
“Iya, Pak. Tapi maafin Vitha tadi ya. Vitha janji ga akan lama-lama di perpus nanti”, jelasku.
“Iya, Non. Tapi dengan satu syarat”.
“Apa Pak ?”.
“Non Vitha hati-hati ya”, pinta Pak Tris.
Pak Tris lalu tersenyum, ia memaklumi sikapku yang egois itu. Ku akui, sikapku berubah menjadi seperti anak yang tak mau diatur, egois, suka marah-marah sejak kejadian satu tahun lalu itu. Kejadian yang membuatku kehilangan Papa, kehilangan hangatnya keluargaku yang dulu, bahkan aku kehilangan fungsi kaki kananku untuk berjalan normal. Amarahku mulai memuncak dan menganggap Tuhan tak adil memperlakukan aku dibanding orang lain. Tapi untuk sesekali, aku malu pada Tuhan, karena aku hanya bisa menyalahkan Tuhan tanpa tahu makna apa yang diberi Tuhan didalam kehidupanku ini.
Gerak tubuh dan mata sayu Pak Tris terlihat jelas memancarkan rambu kekhawatiran padaku. Ia membantu aku keluar dari mobil, karena kaki kanan ku lumpuh, aku terpaksa menggunakan kursi roda. Setelah keluar dari mobil aku menggerakkan kursi rodaku secara otomatis untuk maju kedepan, Pak Tris membuka jendela pintu mobil bagian depan dan tersenyum hangat, lalu aku membalas senyum itu dan pergi meninggalkan Pak Tris di parkiran mobil tak jauh dari perpustakaan.
ΩΩΩ
“Boleh saya duduk disini ?”, tanya seorang pemuda tak dikenal padaku di perpustakaan.
Aku mengangkat kepalaku yang  tertunduk sejak tadi, lalu menatap lelaki yang berperawakan sedikit macho itu dengan wajah heran tanpa mengeluarkan satu patah kata pun.
“Maaf, saya Radit. Kamu ?” tanyanya sambil mengulurkan tangan.
“Vi-tha” jawabku singkat tanpa memandang lelaki itu dan mengabaikan uluran tangan darinya.
Lelaki itu hanya diam dan tak membalas jawabanku tadi, seperti memberikan aba-aba bahwa dia sakit hati di cuekin dengan orang seperti aku. Aku tahu, pasti dia sedikit sakit hati mendengar kata-kata ku yang terlalu singkat tadi. Aku memandanginya lalu tersenyum dan menggeleng.
“Maaf atas sikapku tadi, Radit”, ucapku mulai memecahkan hening.
“Oh, gapapa Vitha. Seharusnya aku yang meminta maaf. Mungkin aku mengganggumu tadi”, balasnya sambil tersenyum
“Hm, kamu baca buku apa ?”, tanyaku lagi.
“Oh, hm ini buku panduan awal untuk penulis pemula”, ucapan Radit meluncur begitu halusnya.
“Kamu mau jadi penulis ?”.
“Ya tampaknya seperti itu. Akhir-akhir ini aku jadi gemar sekali untuk menulis”.
“Wah, bisa share dong. Aku juga hobby banget nulis. Aku sudah buat satu novel. Nanti kapan-kapan kamu boleh baca novelku”, cetusku tampak bersemangat.
“Oke deh, boleh”, respon Radit sambil mengernyitkan kedua alis tebalnya yang hampir menyatu.
Pertemuan ini menjadi awal yang menarik bagiku. Semenjak pertemuanku dengan Radit, banyak hal berubah dari hidupku. Aku jadi  mempunyai sedikit kesibukan. Saling memperkenalkan diri dan bahkan terlihat seperti orang yang mempunyai hubungan istimewa dengannya. Aku menceritakan kehidupanku yang suram karena kejadian satu tahun yang lalu itu. Aku bersyukur karena ia tidak enggan untuk berteman dengan orang yang lumpuh seperti aku.  Aku banyak belajar tentang arti kehidupan dari Radit. Radit terlahir dikeluarga yang sangat sederhana. Bapaknya hanya tukang becak keliling, sedangkan ibunya hanya seorang penjahit. Namun, kesulitan apapun yang dihadapi oleh keluarganya dan dirinya tak membuat Radit jadi patah semangat untuk terus berkarya dan bersaing didunia pendidikan. Dan hasilnya tak ada yang tak memuaskan. Dari kecil, Radit selalu jadi sang juara. Hingga sekarang, ia adalah mahasiswa salah satu universitas ternama di Jakarta, ya Universitas Indonesia mahasiswa fakultas kedokteran semester tiga.
 Aku mulai sadar, musibah yang menimpa kaki ku yang divonis lumpuh oleh dokter setahun yang lalu sesungguhnya tidak seberapa dibanding musibah hilangnya kepekaan diriku terhadap kegetiran hidup yang seharusnya dengan tegar aku jalani. Dan tidak akan pernah sebuah amal dianggap kecil, jikala kita panjatkan dengan tulus. Baik melalui goresan pena, tetesan keringat, keping rupiah, atau doa-doa yang dipanjatkan dari lubuk hati yang terdalam. Sejarah itu cinta. Bayangkanlah apa yang telah terjadi antara aku dan duniaku. Tanpa cinta kita hanyalah budak yang dikendalikan oleh dendam. Tapi dengan cinta, keharuan ini akan membawa keindahan. Kita tidak dendam ketika ditindas oleh kejamnya dunia dan tidak menindas ketika kita menguasai dunia. Bagiku cinta harus membebaskan, harus ikhlas. Untuk cinta dan karena cintalah bumi ini diciptakan. Bukankah itu sesuatu yang utopis, sesuatu yang tak mungkin untuk dicapai ?.
“Cinta itu harus membebaskan,Vitha. Memang berat saat ego kita dibesarkan oleh bayangan sejarah berdarah yang menimbulkan trauma membekas dikehidupanmu. Ego juga yang membuat hidup kita jadi semakin bergejolak. Tapi hanya dengan cinta, hanya dengan cinta Vitha, kita bisa menikmati keindahannya. Bayangkan, bagaimana indahnya keikhlasan saat kita bertetangga dan berteman baik dengan dunia yang kejam ini. Itulah yang harus diusahakan. Memang lebih sulit dibanding mengangkat senjata, bergerilya melawan tentara dengan persenjataan lengkap. Tetapi itu tidak utopis. Percayalah, setiap manusia punya cinta untuk memancarkan cahaya cintanya. Percayalah kepada presinden diri kita yang sedang mengusahakan melakukan itu”.
Pesan itu, pesan teristimewa dan paling mengesankan yang pernah disampaikan Radit kepadaku beberapa hari yang lalu saat pertemuan terakhir kami di perpustakaan. Begitulah akhirnya aku menjadi pengikut aliran cinta Radit. Kita tetap berjuang, berjuang dijalan damai untuk berdamai dengan kejamnya dunia kehidupan. Tidak akan pernah selesai dan berhasil kalau kita memaksakan kehendak dengan kekerasan seperti yang aku lakukan satu tahun terakhir ini. Percayalah, kita punya harapan untuk itu.
Aku seperti sedang berdiri di antara reruntuhan bangunan yang porak-poranda. Angin menerbangkan debu-debu, juga fikiran dan perasaanku. Aku tidak tahu apa yang harus aku perbuat saat ini. Aku hanya ingin seperti debu, yang dibawa angin entah kemana. Melupakan semua luka yang terus mengeluarkan trauma ini. Aku tidak kuat merasakan nyeri dan perih yang tak terhingga. Tapi sekalipun sudah cukup. Ya, sudah cukup untuk menerbangkan cinta dan kedamaian yang bertahun-tahun aku tunggu. Bersama debu-debu dan bayangan Radit yang terlepas dari tanganku, cintapun melayang entah kemana. Hanya Allah yang berhak menilai segala hal yang ada dibalik dada.
Radit, sumbangan pelajaran hidup dari kamu sangat berarti buat aku dan banyak orang. Sangat berarti. Terima kasih. Hanya itu yang mempu aku ucapkan atas segala dukungan yang telah kamu berikan buat aku. Sayang sekali pertemuan itu singkat. Kamu harus pergi mengejar impianmu di negeri orang. Aku janji, aku akan tetap jadi Vitha yang semangat dan tak gampang menyerah. Pelajaran berharga ini, salah satu kado istimewa tak berwujud apapun yang pernah aku dapat dari kamu, sahabatku. Kado tentang arti pembelajaran kehidupan. Aku pun sadar, Radit bukan siapa-siapa dihidupku selama ini, entah malaikat entah siapa. Yang aku tahu, dia kini bahagia bersama yang dia cari dan cintai dalam hidupnya. Aku tahu, dia menantikan aku menyusulnya. Aku tahu itu.
Kini setelah aku melalui perjalanan panjang dan pergulatan batin, aku merasa telah mantap meraih masa depan. Yakni sebagai penulis yang istiqomah. Aku tak akan pernah menyalahkan Tuhan lagi yang telah mengatur kehidupanku, aku akan berusaha mengerti dan memaklumi keadaan mama yang sibuk sehingga kurang memperhatikan aku, bahkan aku juga berusaha mengubur dalam cita-citaku sebagai polwan dan politikus karena kejadian yang membuat trauma panjang itu juga sekaligus menjadi hambatan besar untuk kedua cita-citaku. Sekarang, disela-sela kegiatan mengkaji kitab, menghafal Al-Qur’an, aku menjadi salah satu pengurus Forum Lingkar Pena wilayah Jakarta divisi fiksi. Aku ingin terus menulis, berkarya yang bermanfaat bagi diriku sendiri, dan bagi umat,  Insya Allah.


Batam, 31 Januari 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Internship PT. McDermott Indonesia

21 great things for 21 yo!