Musim Rindu Disudut Kelam (Chapter I)
Ada yang
mengatakan kepadaku bahwa penyakit pertama yang diidap oleh para perantau
adalah rindu akan tempat asalnya. Penyakit ini akan menghantui perasaan batin
lalu menyebabkan hasrat ingin pulang yang akut. Bagi mereka yang dengan mudah
dapat melewati masa kritis, akan bertahan ditanah rantauan.
Sebaliknya,
mereka yang tak mampu sembuh, dan seluruh benaknya digerogoti virus mala rindu,
akan pulang ke tempat asal dengan gelar yang terkadang harus membuat mereka
menulikan telinga, apalagi kalau bukan disebut sebagai orang-orang yang kalah.
Aku ingin
menjadi golongan pertama. Bahkan, seandainya bisa, aku ingin menaklukkan
Pekanbaru. Mungkin, terdengar lucu atau aneh karena ketika orang-orang lain di
Batam berlomba-lomba ke Yogyakarta, Bandung, Singapura, Malaysia, atau Jakarta,
aku malah memilih ke Pekanbaru. Kota yang jalur lalu lintasnya terkenal padat
bahkan tak beraturan sekalipun. Namun, tidak jadi soal bagiku, sebab yang
penting adalah memburu mimpi. Dan ketika ditambah lagi memburu cinta. Ya,
disini cintaku berada, dan sepertinya mengharuskanku berkelana menuju kota ini.
Alangkah
malunya aku jika tidak bisa melawan penyakit rindu, walaupun penyakit ini lebih
menyesakkan dari pada asma atau gigilnya lebih parah dari pada demam
bermalam-malam. Bukan, bukan karena Enggy. Namun, aku hanya ingin membuat
Sulastri, Ibuku, tersenyum bangga. Itu saja, aku tak ingin orang-orang
sekampung mencibiri Ibu dan Bapakku tersebab anak sulungnya kalah sebelum
berlaga. Aku tak ingin membuat orang tuaku merasa menyesal karena telah
mengeluarkan uang puluhan juta untuk aku bersekolah disini. Aku tak ingin
menggagalkan tekadku untuk membuktikan kepada nenek tercinta yang pernah
mencibirku saat aku memutuskan untuk bersekolah disini. Dan apalagi kalau bukan
aku tidak ingin merasa kalah dengan teman-teman yang sekarang juga berada
ditanah rantauan, sama sepertiku, mereka berkelana mengejar mimpi
masing-masing.
Ada
perasaan lega ketika segala sesak akan kerinduan ini selalu aku tumpahkan
melalui coretan tinta hitam di buku harianku. Kecemasan dan ketakutan yang
menghantui lubuk hatiku mulai reda. Kulemparkan lagi pandanganku pada indahnya
senja.
Rumbai
sedang sepi. Tidak banyak orang yang berlalu lalang karena matahari yang akan
menenggelamkan dirinya diufuk barat. Ya, senjalah yang setiap hari akan selalu
menjadi waktu yang tepat untuk bernostalgia dengan waktu lalu akan kehangatan
rumah dikampung halaman.
Senja
memberikan sedikit peluang untuk otakku beristirahat dengan tenang tanpa
algoritma, tanpa bengkel web, tanpa matematika diskrit sekalipun. Senja seakan
mengerti bahwa sebenarnya hidup ini perlu istirahat, walaupun kenyataannya
hidup ini seperti haram hukumnya untuk istirahat.
Perubahan
dunia seakan mengatakan “siapa yang kuat,
dia yang akan menang” walaupun dikatakan secara tidak langsung. Dengan
senja aku bisa melunasi rindu. Karena bagi setiap perantau sepertiku, rindu
adalah hantu yang paling menakutkan. Apalagi merindukan orang tua, dan
adik-adik di kampung halaman, terlebih lagi merindukan suasana yang tak lagi
kutemukan sejak aku berada ditanah rantauan ini.
Ini bulan
keempat, ditahun kedua kutinggalkan Batam, tanah kelahiran. Bagaimana kini keadaan
Bapak? Ibu? Masih binarkah mata teduhnya. Sungguh, betapa rindunya aku akan
tatapan mata Bapak yang tajam walau sebenarnya hatinya selalu menginginkan yang
terbaik untuk anak-anaknya, rindu akan ocehan Ibu yang kadang membuatku
menggerutu didalam batin meminta ocehan itu segera terhentikan. Rindu akan
sambal terasi Ibu, yang selalu menggugah
seleraku untuk makan. Kemudian, melintas wajah Dani yang tergugu saat melepas
kepergianku. Tangisnya saat melepas kepergianku dibandara waktu itu seakan
membuatku hampir menghentikan langkahku untuk pergi jauh. Duh, semoga dia
sehat-sehat saja. Membayang pula wajah Indah dan Wahyu, adik ku yang lainnya.
Ah, sudah lama tidak bercekcok mulut dengan mereka.
Seperti apa
kesepian rumah sekarang saat aku tak lagi berada ditengah-tengah mereka? Aih,
nama terakhir ini yang paling menyiksaku. Apa kabarnya lelaki pemilik hati ini
disana? Masihkah hanya aku yang ia istimewakan hingga saat ini? Masihkah hanya
aku yang bertahta di dalam kerajaan hatinya?
Kadang,
perasaan takut juga datang menghantui, tapi aku pasrahkan semua kepada Allah.
Aku percaya, walaupun sekarang kami berada didalam satu tanah, hanya lokasi
yang memisahkan, tapi tetap saja tidak sepenuhnya aku bisa menjalani
hari-hariku tanpanya. Jarak ini begitu menyiksa, menggeretakkan sel-sel
ketabahan. Sementara aku tak bisa manampik, menggusari dari mana sebenarnya
kecemasan ini bermula. Aku hanya tak ingin kehilangannya. Aku tahu, aku harus
mengadaptasikan diriku pada jarak. Karena kondisi seperti ini akan aku jalani lebih
kurang selama dua tahun kedepan lagi. Ya, semua ini demi masa depan yang telah
kami rancang bersama-sama, dulu saat tak sengaja semua ini tergambar didalam
angan-angan kami.
Bagaimanapun,
aku harus bertahan disini. Aku yang memilih jalan sendiri. Dan aku sadar,
memilih bukanlah perkara mudah. Harus mempertimbangkan segala hal dari sisi
manapun. Kecemasan rasanya selalu mengintai kata-kata “takut salah pilih” disetiap pilihan-pilihan yang telah kubuat.
Tapi disisi
lain, aku harus memanfaatkan peluang. Seperti kata Bapak, tidak semua orang
memiliki mimpi yang dapat jadi kenyataan. Hingga akhirnya aku percaya, bahwa
aku harus memanfaatkan mimpi yang sebentar lagi akan menjadi kenyataan ini, ya
walaupun ini bukan mimpiku, tapi mimpi Bapak. Berkali-kali kecemasan ini
melemahkanku. Ditambah lagi dengan rindu yang rasanya seperti menyayat-nyayat
batin. Terkadang, kucoba membuang jauh-jauh pikiran terlalu rindu ini, kutepis
ia sebisa mungkin. Musababnya, hanya karena aku tak mau rindu ini menyeretku
pulang kekampung halaman menandakan aku kalah.
Aku
merebahkan tubuh penatku di selasar rumah. Dirumah ini, tinggal aku sendiri
yang menempati salah satu kamar yang disewakan pemilik rumah. Teman-temanku
yang lain, Citra dan Ines, memilih untuk pindah kost’an karena alasan sudah
tidak betah lagi ngekost disini. Lantas, aku ibarat menjadi anak semata wayang
didalam rumah yang lumayan besar ini.
Pemilik
rumah, Ibu Rita dan Bapak Suhardi, terlihat begitu memperhatikanku. Aku
diperlakukan seperti layaknya anak kandung mereka. Rumah yang cukup besar ini
membuatku sedikit merasakan kesunyian. Kupandangi sekelilingku melalui
selangsar rumah, terlihat tanaman-tanaman hijau menghiasi rumah tua ini.
Rumput-rumput jepang yang seakan mengerti bagaimana caranya berbaris diatas tanah
hitam, tersusun rapi tepat dihalaman depan rumah. Pohon mangga, yang rantingnya
menjulur hingga keluar pagar, bahkan hampir menjadi penghalang jalan orang
berlalu lalang. Entahlah, entah itu disengaja oleh pemilik rumah, atau karena
alasan lain. Aku tak berani menerka-nerka tentang kepastiannya.
Temboknya,
berwarnakan putih tulang, setiap jendela dipasangkan teralis dengan gorden
besar yang tampak mewah, keramik berwarnakan coklat muda yang selalu bebas dari
debu karena kurasa aku dapat berkaca diatasnya karena kilaunya, lampu-lampu
hias yang kelihatannya sudah menua terpajang disetiap sudut ruangan beralaskan
meja kayu berwarna cokelat, televisi model tahun sembilan puluhan kira-kira
berukuran 21 inch terpajang d atas meja kayu tua disudut ruang tamu, serta dua
set sofa mewah yang juga tampak menua tapi masih tetap empuk untuk diduduki.
Kadang, aku
suka membayangkan apa jadinya kalau rumah ini, aku hadiahkan untuk Ibu dan
Bapak. Rumah yang dirancang sesederhana mungkin, dengan perabotan-perabotan
mewah ala zaman dahulu kala. Pasti akan terlihat lebih indah. Dan setiap
membayangkan Ibu dan Bapak, seolah ada rongga kosong tercipta begitu saja tiba-tiba
di dada. Ah, lagi-lagi penyakit rindu itu datang membayang. Penyakit itu
seperti tak pernah mengenal lelah memperkenalkan diriniya kepadaku disetiap
sudut cerita yang ingin aku jadikan cerita.
Matahari nyaris menenggelamkan dirinya. Rumbai terlihat mulai
temaram. Kulihat rumah-rumah mulai bersolek dengan cahaya putih lampu neon yang
menyemburat dari celah-celah kaca jendela dan celah-celah ventilasi.
Sebentar lagi adzan Maghrib akan berkumandang. Aku tak ingin
berlama-lama duduk termenung disini. Ku langkahkan kakiku menuju kamar, lalu
merebahkan tubuhku yang lemah dengan kehampaan kesebuah kasur spring bed
berukuran empat kaki.
Tiba-tiba pikiranku melayang, aku ingin bercerita. Menceritakan
segudang cerita yang ingin sekali aku bagikan dengan orang-orang yang mengerti kerapuhan
hidup ini. Namun aku hanya menemukan ruang hampa. Ibu, aku merindukan sentuhan
dari tanganmu yang lembut ke pelupuk mata yang tak henti-hentinya mengeluarkan
air mata tanda merindukanmu.
Telinga ini tak pernah mengenal suara yang tegas dan penuh
wibawa sepertimu Ibu. Namun debu yang mengganas dalam keterpisahan ini
membuatku tak mampu menangkap pendar wajahnya. Kutarik napas dalam-dalam, dan
tanpa kusadari ada butir-butir bening menghangat, mengalir dari dua bola mataku
yang bening. Namun hanya sekejap, karena tak berapa lama kemudian mata ini
kering.
Kini kedua bola mataku tertuju
pada sebuah handphone yang tergeletak di atas meja televisi. Dengan segera
kuhapus bekas butir air mata dengan punggung telapak tanganku. Pipiku jadi agak
terasa sedikit lengket karena dihujani air mata barusan. Ya, hanya handphone
yang kemudian akan menghubungkan gendang telingaku untuk mendengar suara yang
dihasilkan oleh pita suara Ibu. Suara yang selalu dapat meredakan kerinduan ini
setelah berpisah kurang lebih empat bulan lamanya. Suara yang kehadirannya ku
nantikan disetiap selipan rindu yang menyerangku.
“Halo, iya nduk?”, sahut Ibu dari kejauhan.
“Ibu, lagi apa? Dani mana?”,
tanyaku.
“Ada, lagi nonton. Tumben
magrib-magrib begini nelepon? Ada apa, nduk?”,
Tanya Ibu penuh kegusaran.
“Kangen, Bu. Pengen pulang ke rumah”, ucapku.
“Oalah, nduk. Iya sabar,
sebentar lagi kan mau pulang? Sekarang solat Magrib dulu gih, ntar waktunya keburu habis”, jawab Ibu menenangkanku.
“Iya, Bu. Sampaikan salam rindu
dan peluk cium untuk adik-adik”, jawabku yang hampir saja terisak.
“inggih, nduk. Jangan lupa jaga kesehatan!”, jawab Ibu mengakhiri
pembicaraan.
Percakapan
singkat jarak jauh itulah yang selalu menjadi obat penawar rinduku untuk
keluarga yang jauh disana. Ada kalanya aku jenuh karena melakukan hal yang sama
secara berulang-ulang. Begitu terus, dan terus.
Aku hanya bisa menelan nasihat-nasihat Ibu setiap kali aku
meneleponnya. Kadang, batinku kala Ibu membebelkan nasihatnya serasa memupuk
kembali semangatku untuk terus melawan penyakit rindu itu. Modal semangat yang
dulu pernah aku punya kadang rasanya sudah habis. Paling yang tersisa hanya
kesungguhan, dan do’a. Tak lebih, tak kurang. Tapi tetap saja, aku harus
berjuang. Berjuang untuk kemenangan masa depan. Percayalah, setiap orang
memiliki harapan untuk itu.
Alih-alih tak ingin
memperpanjang kerinduan ini, aku berdiri. Kemudian, berjalan ke arah kamar
mandi kecil didalam kamarku. Mengambil air wudhu, bergegas melaksanakan
perintahNya lalu berdo’a memohon diberikan sebuah telaga kesabaran dalam
menjalani semua ini. Walaupun terkadang, aku pernah mengeluh akan takdir
sedemikian beratnya yang diberikan oleh Allah kepadaku demi semua yang aku
cita-citakan.
Aku tetap meyakini, bahwa Tuhan memerintahkan keajaiban untuk
melayani kerinduan hati dari jiwa yang ikhlas. Ya, aku yakin, Allah selalu ada
untuk orang-orang yang tak pernah berputus asa dalam menjalani lika-liku
kehidupan ini.
Ya, aku meyakini itu semua! []
*continue ...
Komentar
Posting Komentar