Kelopak Merah Muda [Jurang Keegoisan]
Terkadang, aku merasa seperti sebuah
kelopak mawar merah muda yang baru saja merekah dan terputus dari gerombolan
kelopak lainnya didalam ribuan juta pasir putih. Tenggelam, tertimpa oleh
ribuan juta pasir putih itu. Bahkan aku merasa seperti tak dianugerahi tangan
ataupun kaki untuk mencoba mengayuh berenang ke permukaan jutaan pasir. Lantas
apa yang harus aku lakukan? Adakah yang ingin meminjamkan tangan dan kaki itu?
Adakah kelopak merah muda atau warna indah lainnya yang mengetahui betapa inginnya
aku mengapung diatas putihnya permukaan pasir? Tidak! Mereka semua tidak akan
menemukanku apalagi terbersit niat untuk menolongku.
Di dunia ini, sadarkah
bahwa aku, kamu, kalian, ya kita semua hidup penuh dengan keegoisan? Aku egois
dengan keyakinan bahwa aku dapat berenang ke putihnya permukaan pasir hanya
dengan mengandalkan kelopakku sendiri yang bahkan merah mudanya saja mungkin
dapat luntur atau terkoyak dengn mudahnya karena kasarnya tekstur pasir. Kamu,
kalian, atau siapapunlah yang menorehkan jejak di tanah bumi ini memiliki
keeogoisan yang sama denganku, si ‘kelopak merah muda – mungkin. Aah entahlah,
entah dari mana lahirnya tradisi keegoisan tersebut. Hey, tapi memang harus
diakui bahwa terkadang kita memang terlalu egois!
Aku si kelopak merah muda
begitu mengegoiskan keinginanku haruslah sama dengan keinginan orang lain,
orang lain – ya kalian semua terlalu egois untuk menjadi buta yang lalu tidak
melirik sedikitpun akan berpikir mengenai ‘wht i can do for u?’. Tidakkah ini
semua terlalu egois untuk dirasa?! Aku, kamu, ya kita semua hanya akan selalu
merajai keegoisan itu, alamiah bukan tanpa disengaja.
Jurang yang melambaikan
gravitasi antara kebodohan dan keinginanku – dan juga keinginan kalian, untuk
tetap menjadi egois itu semakin menarik-narik jiwa. Bahwa akulah ‘ya hanya aku’
yang harus berbaris diposisi terdepan, menulikan telinga dari sapaan kelopak
lain. Bahkan beberapa purnama jika diminta untuk mengutuk demi menghilangkan
keegoisan itupun tak akan sanggup. Tanya kenapa? Karena sejatinya alam bergeming
dengan keegoisan, keegoisan dengan karakter yang berbeda namun tetap bergandengan didalam satu
kandungan kalimat.
Ooh bodohnya, kembalilah
mengenang betapa indahnya shakespear ‘sajian’ Indonesia didalam Pancasila. Hey kita
hidup berdampingan, saling menggenggam? Tidak! Karena memang tak dapat dipungkiri si kelopak merah muda itu sendiri pun terkadang hidup tanpa menggenggeam kelopak merah muda lainnya. Saling melepaskan? Itu tidak
akan! Lantas? Berdamailah dengan ‘gravitasi keegoisan’, dengan mengenang shakespear
‘sajian’ Indonesia. Akulah si kelopak merah mudah yang akan berenang dengan
menggunakan kaki dan tangan yang dengan penatnya menghampiri putihnya permukaan pasir yang menimpaku lalu
melangkah selebar mungkin memalingkan jurang yang terus melambai-lambaikan
uluran keegoisan. Dan, pada akhirnya aku si kelopak merah muda, kamu, ya kita
semuanya, akan dapat berenang, menyelam, terapung, atau apapun itu dengan
jurang yang lambaiannya kini alpha. Alpha? Ya, jurang gravitasi mungkin hanya
sakit, akan hadir kembali jika aku si kelopak merah muda, kamu, kita semua
tidak akan pernah bersungguh-sungguh membuat jurang gravitasi drop out dari
kehidupan ini. Mulaikah kita - kelopak merah muda - semua mengerti apa yang dimaksud dengan ‘jurang gravitasi'? Seharusnya begitu [!]
To be cont. ~
Komentar
Posting Komentar